Bali terkenal dengan pantai-nya. Pantai-pantai yang dulu memikat dengan pasir lembut dan debur ombak yang menyejukkan hati, kini banyak menjadi rusak dikarenakan sampah, terutama sampah plastik. Limbah rumah tangga, limbah dari konsumsi turis dan industri yang tak dikelola dengan baik akhirnya bermuara ke laut dan kembali ke garis pantai, meninggalkan bekas yang mengganggu keindahan alam sekaligus mengancam kehidupan laut.
Plastik sekali pakai menjadi masalah terbesar. Botol air minum, kantong plastik, sedotan, dan kemasan makanan mendominasi sampah yang ditemukan di pesisir. Plastik membutuhkan waktu ratusan tahun untuk terurai, dan selama itu, ia menjadi ancaman serius bagi ekosistem laut. Banyak biota laut yang mati karena menelan atau terjebak dalam sampah plastik.
Tentunya, kerusakan ini bukan hanya berdampak pada makhluk laut. Para nelayan yang menggantungkan hidupnya pada laut pun turut merasakan akibatnya. Sampah plastik yang terbawa arus sering kali tersangkut di jaring mereka, menyulitkan proses penangkapan ikan dan menurunkan hasil tangkapan harian. Tak jarang, jaring yang mereka gunakan rusak akibat tersangkut material tajam atau sampah berukuran besar, sehingga menambah beban biaya operasional.
Kerusakan ekosistem laut juga mengakibatkan menurunnya populasi ikan, yang pada akhirnya merugikan ekonomi masyarakat pesisir. Sementara itu, banyak spesies laut seperti penyu, burung laut, dan ikan terancam karena mengira plastik sebagai makanan. Mereka bisa mengalami kelaparan karena perutnya penuh plastik, dan juga terperangkap dalam lautan sampah.
Tentunya banyak upaya sudah dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini, hanya saja masalah sampah plastik ini masih terus berlanjut. Menyadari urgensi dari bahaya sampah plastik ini, pemerintah Provinsi Bali kembali mengambil langkah progresif. Salah satu kebijakan terbaru adalah larangan penggunaan air minum dalam kemasan plastik berukuran di bawah satu liter, sebagaimana tercantum dalam Surat Edaran (SE) Nomor 9 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah. Gubernur Bali, Wayan Koster, melalui SE ini melarang produksi dan distribusi air minum dalam kemasan plastik sekali pakai berukuran kurang dari 1 liter, terutama di sektor pariwisata.
Sampah plastik bukan hanya masalah di pantai saja. Sampah plastik juga berkontribusi terhadap perubahan iklim. Proses produksi, distribusi, dan pembuangan plastik menghasilkan emisi gas rumah kaca dalam jumlah besar. Ketika plastik dibakar, gas beracun dan karbon dilepaskan ke atmosfer, memperparah pemanasan global. Pemanasan global ini berdampak langsung pada pola cuaca, curah hujan, dan ketersediaan air, faktor penting dalam keberlangsungan pertanian.
Bagi petani skala kecil, perubahan iklim menjadi tantangan besar. Musim tanam menjadi tidak menentu, hama mudah berkembang, bencana alam meningkat, dan hasil panen sering kali gagal. Banyak dari mereka yang tidak memiliki akses ke teknologi atau sumber daya untuk beradaptasi. Ketika laut tercemar dan daratan makin panas serta tidak stabil, maka dua pilar utama penyedia pangan, laut dan pertanian menjadi terancam.
Maka dari itu menjaga kebersihan lingkungan, mengurangi plastik sekali pakai, dan mendorong gaya hidup berkelanjutan bukan lagi sekadar pilihan, tapi keharusan. Setiap kebijakan yang mendukung pengurangan sampah, setiap komunitas yang bergerak membersihkan pantai, rumah tangga yang membuat kompos, dan setiap individu yang membawa botol minum sendiri, semua itu adalah bagian dari upaya memperlambat kerusakan dan memberi ruang bagi bumi untuk memulihkan diri. Hal ini tentu saja, untuk kebaikan manusia itu sendiri.


Tinggalkan Balasan