Reclaimed wood atau ‘kayu lawas,’ belakangan menjadi semakin populer bukan hanya sebagai materi konstruksi, tetapi juga sebagai karya seni alami dalam desain interior dan eksterior. Reclaimed wood membawa penggunanya menjelajahi ruang dan waktu. Ada kisah hidup yang terpahat dalam setiap serat-seratnya. Misal, reclaimed wood menyimpan cerita perjalanan sebuah kapal pinishi yang berlayar di laut lepas, menghadapi badai dan ombak. Setelah mengabdi selama bertahun-tahun, kapal tersebut terdampar dan istirahat. Kapal kemudian di bongkar, dan beberapa lembar papan tebal dari bongkaran tersebut menemukan kediaman baru sebagai top tabel restoran mewah di seminyak, Bali.
Mengapa reclaimed wood belakangan semakin sering menjadi perbincangan? Salah satu alasannya adalah karena tumbuhnya kepedulian terhadap lingkungan dan keinginan untuk memberikan sentuhan unik pada ruang. Daya tarik visual, orisinalitas, dan sejarah yang melekat menjadikannya bahan yang sangat dicari. Di tengah kungkungan modernitas, ada keinginan mendalam untuk menghadirkan nuansa masa lalu, dan reclaimed wood dapat berfungsi sebagai jendela yang membawa kita kembali ke era di mana segala sesuatu berjalan lebih lambat dibandingkan saat ini. Pada masa di mana orang berjalan, bukan berlarian seperti sekarang, dan waktu memiliki arti yang lebih mendalam dan belum menjadi seperti sekarang yang dikejar untuk sejumlah uang. Orang yang memiliki uang tetapi kehilangan waktu adalah sosok penggemar kayu reclaimed wood.
Dalam perkembangannya, reclaimed wood tidak lagi hanya berfungsi sebagai bahan konstruksi atau pemanfaatan kayu bekas, tetapi juga dianggap sebagai ekspresi seni alami. Harga kayu reclaimed wood pun meningkat seiring dengan apresiasi terhadap nilai estetika dan sejarah yang terkandung dalam setiap potongannya. Sebagai contoh, papan jati tua bekas bisa memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan papan jati baru, dengan beberapa pengrajin mengklaim bahwa kayu jati tua menawarkan kekuatan, kestabilan, dan ketahanan terhadap hama yang lebih baik. Keberlanjutan kayu reclaimed ini juga tercermin dalam keberlanjutan sejarahnya, yang mencakup periode pemerintahan yang berbeda. Sementara itu, karakteristik unik dan nilai seni yang dimiliki oleh kayu tersebut menjadi daya tarik tambahan, khususnya bagi pecinta barang antik yang memahami bahwa benda-benda seperti pintu tua dari bongkaran rumah Belanda tidak hanya sebagai sebuah pintu. Seiring dengan pergeseran pandangan terhadap reclaimed wood, kayu bekas tidak hanya diolah untuk kegunaan praktis, melainkan juga diakui sebagai medium artistik yang menggabungkan keindahan alami dan sejarah.
Salah seorang penjual kayu bekas di Denpasar, Bali, Pak Ahmad, memahami dengan sangat baik nilai yang terkandung dalam kayu tua. Dengan lahan seluas kurang lebih 500 m2, dia berhasil mengisi ruang tersebut dengan berbagai jenis kayu tua. Berbeda dengan orang yang menabung emas, saham, reksa dana, atau properti, Pak Ahmad lebih memilih untuk menabung kayu. Kepercayaan Pak Ahmad terhadap stabilitas aset kayunya sebanding dengan nilai emas, bahkan diyakininya memiliki potensi return yang lebih tinggi daripada investasi di saham yang berisiko tinggi. Berasal dari Lombok, Pak Ahmad telah terlibat dalam bisnis jual beli kayu tua selama puluhan tahun. Dia sering memborong bongkaran rumah dari Jawa. Dia sangat percaya diri, dan percaya kalau koleksi kayu-nya adalah salah satu yang terlengkap dan terbaik. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pelanggan-nya pemilik vila di Bali, baik lokal maupun asing, yang rutin mengunjungi workshop kayu miliknya. Meskipun customer service Pak Ahmad perlu terus diasah, keunikan produknya dan tingginya permintaan menjadikan hal ini tidak pernah menjadi masalah.
Untuk papan tua bekas bongkaran kapal pinishi yang memiliki ketebalan 3.5 cm, lebar 18 cm, dan panjang 180 cm, Pak Ahmad memberikan harga 350 ribu rupiah. Prosedur pembelian pun sangat sederhana, di mana pembeli dapat datang langsung untuk memilih kayu dan menyampaikan ukuran yang diinginkan. Kemudian, Pak Ahmad akan menetapkan harga berdasarkan ukuran yang diminta oleh pembeli, yang dihitung dari volume kayu per meter kubik. Harga bervariasi tergantung pada jenis kayu yang diminta, mengingat setiap jenis kayu memiliki harga yang berbeda, misal, harga kayu ulin akan lebih mahal dibandingkan dengan kayu bengkirai.
Dengan metode penetapan harga ini, pengalaman berbelanja kayu tua di tempat Pak Ahmad tidak berbeda jauh dengan membeli kayu baru. Meskipun terdapat selisih harga antara reclaimed wood dan kayu baru, perbedaannya tidak signifikan. Meski demikian, yang membedakan adalah kehadiran sejarah dan karakter unik yang melekat pada kayu tua, yang tidak dapat ditemukan pada kayu baru. Dalam setiap serat kayu tersebut, terkandung cerita perjalanan kapal pinishi yang telah mengalami sejumlah peristiwa menarik, memberikan nilai tambah artistik dan sejarah pada setiap potongannya.
Dalam petualangan menjelajahi dunia reclaimed wood, saya menemukan kekayaan nilai dan keunikan yang dimiliki oleh kayu tua bekas. Papan-papan tua bongkaran kapal pinishi atau rumah yang dijual memberikan pengalaman berbelanja kayu yang unik, seringkali disertai dengan cerita sejarah yang terkandung dalam setiap serat kayu. Meskipun harganya tidak jauh berbeda dengan kayu baru, karakter dan jejak masa lalu pada kayu reclaimed sedikit mengkompensasi, menunjukkan bahwa memanfaatkan reclaimed wood bukanlah keputusan yang merugikan. Kesadaran akan keberlanjutan, nilai estetika, dan kisah di setiap potong kayu menjadi bukti bahwa reclaimed wood bukan hanya sekadar kayu tua, melainkan sebuah karya seni alami yang hidup, dan akan memberikan kehidupan di dalam ruang rumah dan jiwa Anda.
Tinggalkan Balasan